Rabu, 16 Juli 2014

Laporan Praktikum Manajemen Ternak Potong dan Kerja



LAPORAN PRAKTIKUM
MK. MANAJEMEN TERNAK POTONG dan KERJA









Oleh:
Putri Anggraini
NIM : E1C010034
Kelompok:
Nama Anggota Kelompok dan NIM:
1.      Desi Rustiani <E1C010027 >
2.      Meri Handayani  < E1C010003>
3.      Hendri Afrizal  < E1C008012>
4.      Putri Anggraini  <E1C010034 >
5.      M. Ari kurniawan  <E1C010052 >





Jurusan Peternakan – Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
Juni 2012


KATA PENGANTAR


                                                                                              Assalamualaikum.Wr, Wb.
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada allah SWT, dimana berkat rahmat dan kesempatan yang telah diberikannya sehingga laporan ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas akhir dari kegiatan praktikum mata kuliah manajemen ternak potong dan kerja. Laporan ini masih sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang.
Dengan selesainya laporan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dwatmadji selaku dosen pembimbing mata kuliah manajemen ternak potong dan kerja, yang telah banyak meberi petunjuk, kepada para koAss praktikum manajemen ternak potong dan kerja yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan praktikum, serta pihak laboratorium jurusan Peternakan Fakultas pertanian Universitas Bengkulu yang telah memfasilitasi kegiatan praktikum ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, amin.

                                                   Bengkulu, juni 2012



                                                                                   Penulis













DAFTAR ISI




BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang


Domba adalah salah satu ternak pengahasil daging yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Daging yang dihasilkan oleh ternak domba memilki kualitas yang cukup baik. Jika dibandingkan dengan daging sapi dan kambing, daging yang dihasilkan oleh ternak domba tidak jauh berbeda.
Ternak domba memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan menjadi salah satu ternak penyumbang daging untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Ternak domba dapat hidup di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Kebutuhan pakan ternak domba juga tidak terlalu jauh berbeda dengan kebutuhan ternak potong lainnya. Pertumbuhan ternak domba dapat berlangsung dengan cepat apabilah pemeliharaannya sesuai dengan teknis yang semestinya.
Kemampuan ternak domba mengkonversi pakan di daerah tropis adalah sebesar 7,7 (Tomaszewska et al. 1993). Dengan kemampuan mengkonversi pakan sebesar itu berarti efisiensi penggunaan pakan oleh ternak domba cukup tinggi.
Usaha peternakan domba dapat menghasilkan berbagai macam produk mulai dari daging, woll, susu dan feses. Namun usaha yang paling sering dilakukan adalah usah penggemukan dengan tujuan untuk mendapatkan dagingnya. Sedangkan untuk wool dan feses merupakan hasil sampingan dari proses penggemukan domba selama beberapa bulan.
Ternak domba biasanya dipelihara dengan sistem pastura fattening, yaitu dilepas di padang gembala pada saat siang hari dan malam harinya diletakkan di dalam kandang. Usaha penggemukan ternak domba membutuhkan lahan yang cukup luas tergantung jumlah ternak domba yang akan di gemukan.
Indonesia adalah negara yang memiliki lahan yang  cukup luas untuk dijadikan sebagai lahan untuk usaha penggemukan   ternak seperti ternak domba, namun potensi lahan yang begitu baik ini belum sepenuhnya dimanfaatkan pemerintah untuk mendirikan usaha yang berbasis penggemukan ternak yang hasilnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daging dalam negeri sehingga nilai impor daging di Indonesia dapat dikurangi. Padahal ternak domba sangat memiliki potensi untuk dikembangkan. Karena begitu mudah untuk dikembangbiakan. Jika dikaji dengan lebih mendalam, usaha penggemukan ternak seperti ternak domba ini dapat di laksanakan di Indonesia ini.
Usaha peternakan domba belum terlalu diminati oleh masyarakat Indonesia, selama ini usah ternak domba masih dijadikan sebagi usaha rumahan yang kepemilikan setiap peternak rata-rata 3 ekor. Padahal jika dijalankan dengan baik dan ditekuni usaha peternakan domba ini sangat meberikan keuntungan yang cukup besar. 



1.2.Tujuan praktikum


Praktikum ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
·      untuk melihat bagaimana potensi sebuah usaha penggemukan ternak domba sekala besar.
·      Untuk melihat bagaimana gambaran umum penghitungan laba rugi sebuah usaha penggemukan ternak domba sekala besar.
·      Untuk mengetahui aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam sebuah usaha penggemukan ternak domba.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


Domba seperti halnya kambing, sapi dan kerbau, tergolong dalam family Bavidae, domba dan kambing pada hikikatnya merupakan 2 genus dari Bavidae yang berdekatan meskipun demikian, ada erbedaan yang mencolok yakni domba dan kambing tidak dapat dikawin silangkan.ciri domba yang paling gampng diamati adalah tanduk domba berpenampang segitiga yang tumbuh melilit seperti seiral.
Beberapa jenis domba yang tersebar diseluruh dunia seperti :
·         Domba Kampng
·         Domba Pariangan
·         Domba ekor gemuk
·         Domba Garut
·         Domba marino
·         Domba Rainbouillety
·         dll

a.    Klasifikasi Domba
Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak. Ternak domba termasuk dalam
Ø  kingdom Animalia (hewan),
Ø  filum Chordata (hewan bertulang belakang),
Ø  kelas Mammalia (hewan menyusui),
Ø  Ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap),
Ø  Family Bovidae (memamah biak),
Ø  Genus Ovis (domba)
Ø  Spesies Ovis aries (domba sudah didomestikasi)
(Blakely dan Bade, 1994).


b.   Domba Lokal
Jenis domba yang terdapat di Indonesia menurut Iniguez et al. (1991) terdapat tiga jenis yaitu Domba Jawa Ekor Tipis,
1.      Domba Jawa Ekor Gemuk,
2.      Domba Garut dan
3.      Domba Sumatra Ekor Tipis.
Inounu dan Diwyanto (1996) menyatakan bahwa terdapat dua tipe domba yang paling menonjol di Indonesia yaitu Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Ekor Gemuk (DEG) dengan perbedaan galur dari masing-masing tipe. Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga Domba Ekor Tipis berasal dari India dan Domba Ekor Eemuk berasal dari Asia Barat (Williamson dan Payne, 1993).
Ternak domba merupakan salah satu ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan. Domba lokal adalah domba asli Indonesia yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis, mampu memakan pakan dengan kualitas rendah, dan memiliki sifat seasonal polyestrus sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Domba lokal memiliki tubuh yang relatif kecil, warna bulu yang beragam, bentuk ekor yang kecil dan tidak terlalu panjang.
Domba Ekor Tipis merupakan ternak domba yang paling banyak populasinya dan paling luas penyebarannya. Menurut Subandriyo dan Djajanegara (1996) Domba Ekor Tipis mempunyai sifat reproduksi yang baik. Namun, Domba Ekor Tipis ini kurang produktif jika diusahakan secara komersial karena karkas yang dihasilkan sangat rendah yaitu sekitar 45-55% dari bobot hidup (Tomaszewska et al,. 1993).

c.    Kebutuhan Zat Makanan Domba
Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak harus disesuaikan dengan kebutuhan ternak tersebut. Jumlah dan kualitas pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak. Kebutuhan nutrisi oleh ternak bervariasi sesuai dengan jenis dan umur fisiologis yang berbeda (Sutardi, 1980). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi ternak antara lain adalah jenis kelamin, tingkat produksi, keadaan lingkungan dan aktivitas fisik (Haryanto, 1992). Kebutuhan nutrisi ternak dikelompokkan menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral dan vitamin. Komponen-komponen utama tersebut diperoleh dari zat makanan yang masuk kedalam tubuh ternak. Konsumsi ruminansia dipengaruhi oleh jenis pakan, usia, bobot badan, jenis kelamin, suhu, manajemen dan kandungan nutrisi, (Arora, 1989).
Menurut Anggorodi (1990) energi adalah salah satu komponen yang penting dalam pakan untuk pertumbuhan. Energi ini digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan, gerak otot dan sintesa jaringan baru. Ternak membutuhkan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi serta kebutuhan reproduksi (Anggorodi, 1990). Menurut Siregar (1996) kebutuhan pokok adalah kebutuhan zat-zat makanan untuk memenuhi proses hidup saja seperti menjaga fungsi tubuh tanpa adanya suatu kegiatan dan produksi, sedangkan kebutuhan produksi adalah kebutuhan zat nutrisi untuk pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja.
Protein merupakan senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino. Protein merupakan unsur penting dalam tubuh ternak dan diperlukan terus-menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis (NRC, 2006). Protein berfungsi sebagai zat pembangun karena protein merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang terjadi dalam tubuh, protein digunakan sebagai bahan bakar jika kebutuhan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Kebutuhan ternak akan protein biasanya disebutkan dalam bentuk protein kasar, sebagian besar protein kasar yang diperlukan oleh ternak dapat dipenuhi dalam bentuk Non Protein Nitrogen (NPN) seperti urea, tetapi sebagian lagi dipenuhi dalam bentuk protein yang sebenarnya. Kebutuhan protein domba dipengaruhi oleh masa pertumbuhan, umur, fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh dan rasio energi protein (Ensminger, 1993).

d.   Kebutuhan Domba Fase Pertumbuhan
Penampilan seekor ternak merupakan hasil dari suatu proses pertumbuhan dan perkembangan yang berkesinambungan tanpa berhenti dalam seluruh hidup ternak tersebut, yang pada setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda tergantung lingkungan. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan berat badan dan tinggi. Menurut Anggorodi (1990), pertumbuhan murni mencakup pertumbuhan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan-jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) dan alat-alat tubuh. Pertumbuhan adalah peningkatan berat badan hidup seekor ternak sampai mencapai berat tertentu sesuai dengan kemasakan tubuhnya. Pertumbuhan selanjutnya didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahaan organ-organ dan jaringan tersebut berlangsung secara gradual hingga tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut (Soeparno,1994). Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan. Menurut Parakkasi (1999) Jumlah pakan yang diberikan pada ternak sehari-hari harus lebih banyak dari kebutuhan hidup pokok agar ternak tidak mengalami kesulitan produksi. Kebutuhan bahan kering untuk domba fase pertumbuhan atau dengan bobot badan sekitar 15-25 kg adalah 3% dari bobot badannya atau sekitar 400-500g/ekor/hari (NRC, 2006).
Faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan adalah genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan adalah pakan, pakan sangat berperan penting dalam masa pertumbuhan seekor domba. Status fisiologis yang berbeda menyebabkan kebutuhan zat makanan domba berbeda. Kandungan zat makanan untuk domba pada periode pertumbuhan adalah 55% TDN, 9,5% PK, 0,20% Ca dan 0,18% P (NRC, 2006). Kebutuhan bahan kering untuk domba fase pertumbuhan atau dengan bobot badan sekitar 25-35 kg adalah 3% dari bobot badannya atau sekitar 500- 600g/ekor/hari (NRC, 2006).

e.    Kebutuhan Domba Bunting
Penampilan reproduksi domba dapat dipergunakan sebagai petunjuk kemampuan produktivitas ternak domba. Faktor-faktor yang mempengaruhi penampilan reproduksi adalah genetik dan lingkungan. Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting untuk induk bunting. Pengaruh negatif dari kekurangan pakan terhadap organ reproduksi pada domba muda dapat bersifat permanen (Thalib et al., 2001). Kebutuhan zat makanan untuk domba yang sedang bunting adalah 59% TDN, 9,5% protein, 0,33% Ca dan 0,16% P (NRC, 2006).


f.     Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Faktor genetik berhubungan dengan kecepatan dan sifat tumbuh yang diwariskan oleh tetuanya dan jenis ternak. Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen dan pakan (Church, 1991).
Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur perrtumbuhan adalah dengan pengukuran bobot badan. Pertambahan bobot badan adalah kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat makanan yang terdapat dalam pakan menjadi produk. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas bahan makanan ternak. Dari data pertumbuhan bobot badan akan diketahui nilai suatu zat makanan dari suatu ternak (Church dan Pond, 1988). Menurut Maynard dan Loosly (1979) kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam pakan, semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Menurut NRC (2006) pertambahan bobot badan harian domba sekitar 100 g/ekor/hari, sedangkan menurut Tomaszewska et al. (1993) pertambahan bobot badan harian domba untuk daerah tropis adalah 70 g/ekor/hari, sementara hasil penelitian dari Wardhani (2006) pertambahan bobot badan untuk domba lokal Jonggol adalah 47 g/ekor/hari dan hasil penelitian Saputra (2008) pertambahan bobot badan domba lokal Jonggol yang sedang bunting adalah 69 g/ ekor/hari.

g.    Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan kenaikan satu satuan bobot hidup (Church, 1991). Konversi pakan digunakan untuk mengetahui efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Semakin rendah nilai konversi pakan maka efesiensi penggunaan pakan semakin tinggi. Menurut Wahju (1997) pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik disertai biaya ransum yang minimum akan mendapatkan keuntungan maksimal. Menurut NRC (2006) konversi pakan domba sekitar 5,74, sedangkan menurut Tomaszewska et al. (1993) konversi pakan domba untuk daerah tropis adalah 7,7.
Efisiensi dari penggunaan pakan termasuk dalam program pemberian pakan yang diukur dari konversi pakan atas bobot badan hidup domba. Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan bobot badan tertentu dalam waktu yang ditentukan. Konversi pakan ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi dan penyakit (Parakkasi, 1999). Konversi pakan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktivitas tubuh, musim dan suhu dalam kandang. Kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka semakin efisien dalam penggunaan pakan (Parakkasi, 1999).

h.   Bahan Pakan Ternak
Ø  Pakan Sumber Energi
Energi adalah salah satu komponen yang penting dalam pakan untuk pertumbuhan. Energi ini digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan, gerak otot dan sintesa jaringan baru. Ternak membutuhkan energi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi serta kebutuhan reproduksi, kebutuhan ini tergantung dari proses fisiologis ternak (Anggorodi, 1990). Kebutuhan energi ternak untuk hidup pokok adalah jumlah energi dalam pakan yang harus dikonsumsi setiap hari bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, energi tersebut digunakan untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan tubuhnya. Kebutuhan untuk produksi dan reproduksi adalah energi di atas kebutuhan hidup pokok yang dimanfaatkan untuk proses-proses produksi dan reproduksi (NRC, 2006). Ensminger (1993) menyatakan bahwa kekurangan energi merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat disebabkan oleh kekurangan pakan atau mengkonsumsi pakan dengan kualitas yang rendah.8
Sumber energi utama domba adalah dari pastura atau hijauan makanan ternak, hay, dan silase. Bahan pakan sumber energi yang juga biasa digunakan untuk ternak ruminansia berupa biji-bijian dan umbi-umbian seperti pollard, onggok, dedak, ampas tahu dan jagung. Jagung merupakan bahan baku sumber energi yang berkualitas baik dengan komposisi zat makanan TDN 81% dan protein 11% (NRC, 2006). Jagung juga merupakan pakan yang palatabilitasnya tinggi untuk ternak. Onggok pakan sumber energi untuk ternak, yang berasal limbah dari pembuatan tepung tapioka dan ketersediaannya cukup melimpah di Indonesia terlihat dari jumlah produksi singkong yang terus meningkat dan mencapai >20 juta ton per tahun (BPS, 2008). Komposisi zat makanan onggok TDN 78,3% dan protein 1,87 % (NRC, 2006).

Ø Pakan Sumber Protein
Protein merupakan senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino. Protein merupakan unsur penting dalam tubuh ternak dan diperlukan terus-menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis (NRC, 2006). Protein yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia yaitu protein kasar dan protein yang dapat dicerna. Menurut Siregar (1994) kebutuhan protein ternak ruminansia sebagian dipenuhi dari protein mikroba dan sebagian lagi dari protein pakan atau ransum yang lolos dari fermentasi di dalam rumen (protein bypass).
Bahan pakan sumber protein yang biasa digunakan untuk ternak ruminansia adalah bungkil kelapa. Bungkil kelapa merupakan limbah industri minyak kelapa yang dapat dimanfaatkan ternak. Kualitas bungkil kelapa bervariasi tergantung pada cara pengolahan dan kualitas bahan baku. Berdasarkan komposisi kimianya, bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak, kandungan protein dari bungkil kelapa mencapai 21,3 % (NRC, 2006).

i.      Produktivitas Ternak Domba
Sifat produksi dan reproduksi pada ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Diperkirakan terdapat 9.514.184 ekor domba di Indonesia pada tahun 2007 yang sebagian besar berada di pulau Jawa dan merupakan peternakan rakyat (Ditjen Peternakan, 2008). Tingkat mortalitas yang tinggi akibat pengelolaan, kurang cermatnya deteksi berahi atau waktu perkawinan yang tidak tepat, pemotongan ternak yang semakin meningkat dan kurangnya perhatian terhadap segi pemuliaan merupakan masalah yang berkaitan dengan rendahnya peningkatan populasi ternak di Indonesia (Toilehere, 1985). Penggunaan bibit yang baik, tidak memotong induk yang masih produktif dan menerapkan sistem manajemen pemeliharaan yang lebih baik dan efesien serta peningkatan usaha pengendalian penyakit merupakan usaha yang sangat diperlukan dalam mempertahankan dan meningkatkan populasi ternak di Indonesia (Inounu dan Soedjana,1998).
j.     Reproduksi Ternak Domba
Penampilan reproduksi domba dapat dipergunakan sebagai petunjuk kemampuan produktivitas ternak domba. Menurut Dihardjo (1995) sifat-sifat umum reproduksi merupakan suatu proses fisiologis yang kompleks dan banyak ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Domba lokal pada umumnya memiliki sifat reproduksi yang baik, hal ini terlihat dari frekuensi melahirkan dan tingkat kelahiran kembar yang tinggi serta adaptasi yang baik. Menurut Toelihere (1985) aktivitas reproduksi pada ternak secara umum dapat berlangsung sepanjang tahun dan tidak terlihat adanya pengaruh musim atau iklim.
Guna menunjang keberhasilan reproduksi ternak betina yang mempunyai sifat unggul, Toilehere (1985) menerangkan bahwa teknologi IB (inseminasi buatan) terbukti sangat efektif. Selain IB menurut Gattenby (1995), dalam meningkatkan keberhasilan reproduksi dengan cara flushing. Flushing merupakan pemberian pakan tambahan dengan maksud untuk meningkatkan ovulasi (Hatfiled, 1978). Prinsip dari flushing yaitu pemberian pakan berkualitas baik pada 2-3 minggu sebelum dikawinkan (Ensminger, 1993). Perlakuan flushing dengan menggunakan bahan pakan yang berkualitas baik selama 6-8 minggu akan mempengaruhi hipotalamus untuk merangsang pituitary anterior untuk meningkatkan faktor pelepas FSH dalam proses pertumbuhan dan pematangan folikel serta bekerjanya LH dalam merangsang terjadinya ovulasi.

k.   Aktivitas Reproduksi Domba
Reproduksi merupakan suatu proses perkembangbiakan suatu mahluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur dengan sel sperma. Hasil penggabungan kedua sel ini membentuk zigot. Zigot ini akan terus berkembang selama kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi adalah jarak antar beranak, jarak antar melahirkan sampai bunting kembali, angka kebuntingan, rataan jumlah kebuntingan per perkawinan (Dihardjo, 1995). Menurut Devendra dan Mcleroy (1982) jenis domba di Indonesia pada umumnya mempunyai sifat reproduksi yang baik, hal ini terlihat pada frekuensi melahirkan dan tingkat kelahiran kembar yang tinggi, serta adaptasi yang baik.

l.      Siklus Berahi
Pada jenis-jenis ternak tertentu, awal reproduksi pada ternak betina ditandai dengan munculnya tanda-tanda berahi yang biasa terjadi pada musim kawin. Pada ternak domba musim kawin sangat dipengaruhi oleh tempat domba dipelihara, misalnya musim kawin domba-domba subtropik bersifat seasonal breeder, sedangkan untuk domba-domba yang berada di daerah tropik, sifatnya continous breeder (Hafez, 1993).
Proses reproduksi baik untuk jantan maupun betina ditandai dengan kemampuannya memproduksi benih pertama kali (masa pubertas). Ciri-ciri ternak yang sedang berahi adalah terlihat tingkah laku menggesekkan badannya pada pejantan, mengibas-ngibaskan ekornya, sering urinasi dan siap menerima pejantan untuk kopulasi yaitu tidak memperlihatkan pemberontakan pada saat dinaiki. Dewasa kelamin pada domba dapat tercapai pada umur 6-8 bulan dengan kondisi makanan yang baik atau berdasarkan berat badan, dewasa kelamin tercapai ketika domba mencapai berat badan sekitar 50%-70% dari berat badan dewasa (Hafez, 1993).
Siklus berahi merupakan jarak waktu berahi periode pertama dengan berahi periode berikutnya. Jarak berahi terjadi sekitar 11-19 hari dengan rata-rata 16,7 hari (Toelihere, 1985). Siklus berahi terbagi menjadi empat fase yaitu fase proestrus, fase estrus, fase metestrus dan fase diestrus, faktor-faktor yang mempengaruhi siklus berahi secara umum diantaranya adalah umur ternak, bangsa, perubahan panjang siang dan panjang malam hari, suhu lingkungan, kualitas makanan dan kehadiran pejantan (Tomaszewska et al., 1991).

m. Fertilitas dan Kebuntingan
Toelihere (1985) menyatakan bahwa fertilitas seekor ternak ditentukan dari tinggi rendahnya nilai service per conception, calving rate dan calving interval. Service per conception yaitu keberhasilan kebuntingan dalam satu kali perkawinan. Calving rate adalah jumlah anak yang dihasilkan per kebuntingan sedangkan calving interval adalah jumlah hari atau bulan antara kelahiran yang satu dengan kelahiran berikutnya (Sudono, 1983).
Kebuntingan merupakan suatu interval atau waktu antara setelah terjadinya fertilisasi sampai dengan kelahiran (Partus) (Jainudeen dan Hafes, 1980). Lama kebuntingan pada ternak berbeda-beda. Demikian halnya umur kebuntingan domba juga berbeda tergantung dari bangsa, pemberian pakan, kondisi lingkungan, kandang dan manajemen pemeliharaan dari domba tersebut, umur kebuntingan domba sekitar 144-155 hari. Menurut Toelihere (1985), kebuntingan dimulai pada saat terjadinya fertilisasi dan diakhiri pada waktu kelahiran, lama kebuntingan dipengaruhi oleh genetik walaupun dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor maternal, foetal dan lingkungan.

n.        Tipe Kelahiran
Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua bahkan tiga dalam sekali beranak. Tipe kelahiran dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan tingkat kesuburan (Toelihere, 1985). Kesuburan atau fertilitas ternak domba dicerminkan oleh keteraturan induk beranak kembar.
Menurut Inounu et al. (1999) rataan jumlah anak domba per kelahiran 1,77 ekor per induk, sementara Tiesnamurti (2002) menyatakan bahwa domba mampu melahirkan anak 1,98 ekor anak per kelahiran. Menurut Gattenby (1991) rataan jumlah anak domba yang dilahirkan di daerah tropis adalah 1,36 ekor per kelahiran. Faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genetik, manajemen dan interaksi antara manajemen dan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk (Dimsoski et al., 1999). Penelitian Harahap (2008) mendapatkan hasil bahwa bertambahnya umur induk akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran, sementara menurut Blakely dan Bade (1994) perlakuan flushing pada domba betina dapat meningkatkan terjadinya kelahiran kembar.



BAB III

MATODE PRAKTIKUM


3.1.            Asumsi Yang Digunakan Untuk Pembuatan Diagram Breding
Diagram breding yang digunakan dalam penghitungan populasi ternak domba yang akan digemukan dibuat dengan mengasumsikan jumlah populasi awal yang dikembangkan adalah 10600 ekor untuk betina dan 1060 ekor untuk pejantan. Jumlah betina dan pejantan diasumsikan berbanding 10:1. Setiap 10 ekor betina dikawini oleh 1 pejantan. Perkawinan dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi inbreeding antar ternak.
Diagram breding ini dinuat dengan asumsi usaha penggemukan dilakukan selama 4 tahun mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2013.

3.2.            Cara Pembuatan Diagram Breding Dan Perhitungan – Perhitungan
Diagram breding dibuat dengan sedemikian rupa untuk mengikuti alur perkembangbiakan ternak domba yang dipelihara untuk digemukan. Diagram breding dibuat di kertas milimeter dengan perbandingan yang dihitung secara teliti dan sedemikian rupa.
Kertas mililmeter dibagi menjadi beberapa bagian yang mewakili jumlah hari, bulan dan tahun. Ini dilakukan dengan tujuan agar mudah menentukan kapan saatnya domba melahirkan, kapan saatnya domba jantan dijual, dan kapan saatnya populasi ternak domba bertambah dan berkurang.

3.3.            Cara Menyusun Dalam Excel
Selain dibuat diagram breeding pada kertas milimeter, untuk memudahkan penghitungan laba rugi usaha peternakan domba ini. Data-data yang berhubungan dengan usaha dihitung didalam tabel dengan menggunakan program MS. Excel.
Data yang dihitung dengan menggunakan Ms. Excel adalah mulai dari data populasi, kebutuhan pakan, berat badan, kebutuhan lahan, kebutuhan kandang, penjulan pejantan, penjualan kompos dan penrhitungan total untung rugi usaha selama empat tahun.
3.4.            Jadwal Praktikum
Praktikum dilaksanakan selama beberapa minggu dengan beberapa kali tatap muka. Dilaksanakan pada setiap hari senin pukul 04.00 WIB bertempat di gedung kuliah bersama 1.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perhitungan populasi



Perhitungan populasi dimulai sejak pemasukan iduk pertama (G0) yaitu sejumlah 10.600 ekor untuk betina dan 1.060 ekor untuk pejantan. Pada tahun pertama populasi mengalami penambahan sebesar 31.800 ekor yang terdiri atas 15.900 ekor untuk pejantan dan 15.900 ekor betina. Ini merupakan generasi pertama (G1) yang dilahirkan oleh induk. Jumlah ini diperoleh dari jumlah induk  X Litter size X 50%* dan pejantannya adalah 15.900 ekor, yang mana jumlah tersebut didapat dari: jumlah induk  X Litter size (3) X 50%*. Begitu juga untuk jumlah populasi yang merupakan keturunan ke dua (G2), ke tiga (G3), ke empat (G4) dan keturunan ke lima (G5). Karena berasal dari induk yang sama.
Sedangkan untuuk generasi pertama keturunan G1.1 jumlah anaknya adalah sebesar 23.850 ekor untuk betina dan 23.850 ekor untuk pejantan. jumlah ini didapat dari jumlah induk (15900) x liter size(3) x 50%. Begitu juga untuk jumlah populasi yang juga merupakan keturunan dari G1.2, G1.3, G2.1, G2.2 dan G3.1, karena berasal dari jumlah induk yang sama yaitu 15.900 ekor.
Dan untuk generasi keturunan G1.1.1. jumlah anaknya adalah sebesar 35.775 ekor untuk betina dan 35.775 ekor untuk pejantan. Jumlah ini didapat dari : jumlah induk (23.800) x litter size (3) x 50%. Begitu juga untuk jumlah populasi yang juga merupakan keturunan dari G.1.1.2, G1.2.1, dan G.2.1.1, karena berasal dari jumlah induk yang sama yaitu 23.800 ekor.
Setiap memasuki usia dewasa kelamin dan dewasa tubuh 90% dari total anak setiap keturunan yang jenis kelaminnya jantan dijual, dan 10% disisakan untuk menjadi induk. Karena total pejantan yang dibutuhkan adalah 10 % dari total induk betina.

4.2. Perhitungan kebutuhan kandang dan lahan untuk kandang

Tabel kebutuhan kandang dan total luas lahan untuk kandang ada pada lampiran. Pembangan kandang dilakukan setiap kali akan ada penambahan jumlah populasi, total luas kandang yang dibangun disesuiakan dengan jumlah penambahan poplasi. Kebutuhan luas kandang untuk tahun pertama untuk populasi G0 adalah adalah seluas 23.320 m2. Dengan estimasi kebutuhan dana untuk membangun kandang seluas itu adalah sebesar Rp. 4.664.000-,. Berikutnya pada bulan juni, dilakukan pembangunan kandang lagi untuk anak – anak dari generasi G1 yang membuthkan lahan seluas 63.600 M2 dan dana sebesar Rp.12.720.000.
Untuk tahun kedua terjadi pembangunan kandang sebanyak 2 kali. Pembangun dilakukan Pada bulan maret, oktober dan desember. Pada bulan maret jumlah lahan yang dibutuhkan untuk penambahan jumlah unit kandang adalah sebesar 63.600 m2 dan dana yang diperlukan adalah sebesar Rp. 12.720.000,-. Pada bulan oktober jumlah luas kandang yang akan dibangun adalah seluas 66.780 m2, dan dana yang dibutuhkan adalah senilai Rp. 13.356.000,-. Dan untuk pembangunan kandang pada bulan desember luas kandang yang akan dibangun adalah seluas 63.600 m2, dan dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 12.720.000,-.
Pada tahun ketiga penambahan luas kandang dilakukan pada bulan juli dan september. Pada bulan juli total luas kandang yang akan dibangun adalah seluas 162.180 m2, dan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang tersebut adalah sebesar Rp. 32.436.000,-. Sedangkan untuk pembangunan kandang pada bulan september membutuhkan luas lahan seluas 26.70 m2, dan dana yang dibuthkan adalah sebesar Rp. 4.134.000,-.
Dan pada tahun keempat penambahan luas kandang dilakukan pada bulan februari, april dan november. Pada bulan april luas kandang yang akan dibangun adalah seluas 114.480 m2, dan total dana yang dibutuhkan untuk membangun kandang seluas itu adalah sebesar Rp. 22.896.000,-. Untuk pembanguna kandang pada bulan april total luas lahan yang dibutuhkan adalah seluas 286.200 m2, dan total dana yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 57.240.000,- dan untuk pembangunan kandang pada bulan november total luas lahan yang dibutuhkan adalah seluas 378.420 m2, dengan total dana yang diperlukan adalah sebesar Rp. 75.684.000,-.
Jadi total dana yang dikeluaarkan untuk pembangunan kandang selama 4 tahun adalah sebesar Rp.248.570.000,-. Dan total luas lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang adalah seluas 1.224.850 ha.

4.3.Perhitungan pakan dan lahan untuk hijauan pakan ternak

Konsumsi pakan ternak domba sama dengan jumlah konsumsi pakan ternak ruminansia lainnya, yaitu 10% dari berat badan untuk pakan hijauan dan 1% dari berat badan untuk pakan  konsentrat. Kebutuhan pakan hijauan dan pakan konsentrat untuk ternak domba ini setiap tahunnya mengalami perubahan karena setiap tahun terjadi perubahan jumlah populasi. Untuk tahun pertama total kebutuhan pakan konsentrat adalah sebesar 3.301 ton tahun kedua 7.937,1 ton, tahun ketiga sebesar 20.015 ton dan tahun keempat sebesar 45.408 ton. Total dana yang harus dikeluarkan untuk pembelian pakan konsentrat selama 4 tahun adalah Rp. 153.322.110.000,-.
Sedangkan untuk pakan hijauan total kebutuhan untuk tahun pertama adalah sebesar 1.100,3 ton, tahun kedua sebesar 2.645,8 ton, tahun ketiga sebesar 6.671,6 ton dan tahun keempat adalah sebesar 15.136,0 ton. Sehingga total pakan hijauan yang dibutuhkan adalah sebanyak 25.553,7 ton. Total lahan yang diperlukan adalah seluas 23.826 ha.  

4.4.Perhitungan kebutuhan SDM

Tenaga kerja yang dipakai berjumlah 10 orang, dengan gaji perbulan Rp.  1.000.000,- jadi total biaya untuk gaji selama 4 tahun(48 bulan) = Rp. 48.000.000,-

4.5.Perhitungan investasi untuk point 2, 3, dan 4

Total dana yang dikeluarkan untuk usaha peternakan domba ini adalah :
Biaya pembuatan kandang + biaya pembelian pakan konsentrat + biaya karyawan
Rp.248.570.000,- + Rp. 153.322.110.000,- + Rp. 48.000.000,- = 
Rp.153.618.680.000,-.

4.6.Perhitungan penjualan ternak jantan


Ternak domba yang dijual adalah ternak domba yang jantan yang telah memasuki usia dewasa tubuh dan dewasa kelamin. Jumlah ternak yang dijual adalah 90% dari total jumlah anak domba yang lahir setiap kelahiran per generasi. Selama empat tahun terjadi penjualan ternak jantan sebanyak 7 kali. Dengan jumlah total sebanyak 135.945 ekor dengan harga Rp. 450.000,- per ekor. Sehingga total pemasukan yang diterima dari hasil penjualan ternak jantan adalah sebesar :
Rp. 61.175.250.000,-.



4.7.Perhitungan Penjualan Kotoran Ternak


Selain penjualan ternak jantan, usaha ini juga menerima pemasukan dari hasil penjualan kotoran ternak (feses) yang dihasilkan ternak domba selama pemeliharaan. Penjualan feses dilakukkan setiap bulan, feses dijual dengan harga Rp. 2.500/ kg atau Rp. 2.500.000,- / ton. Estimasi jumlah feses yang dihasilkan oleh ternak domba adalah sebesar 3% dari berta tubuhnya. Jadi total jumlah feses yang dihasilkan selama 4 tahun adalah sebanyak 229.983 ton. Sehingga total pemasukan yang diterima dari hasil penjualan feses selama 4 tahun adalah sebesar Rp. 574.957.912.500,-.

4.8.Perhitungan Untung Dan Rugi


Total pemasukan yang diterima selama 4 tahu usaha berjalan adalah sebesar :
Total pemasukan – total pengeluaran = Rp.153.618.680.000,-. – Rp. 636.133.162.500,- = Rp. 482. 514.482.500,-.


BAB V

PENUTUP

5.1.Kesimpulan


Dari hasil perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa selama empat tahun usaha ini berjalan, total keuntugan yang diperoleh oleh peternak adalah sebesar  Rp. 482.514.482.500,-.
Walaupun total keuntungan yang diperoleh dari perhitungan diatas belum merupakan keuntungan bersih karena masih banyak biaya produksi lainnya yang belum dihitung termasuk biaya pajak. Namun usaha ini memberikan keuntungan yang cukup besar untuk dikembangkan.

5.2.Saran


Saran saya mungkin jika ingin memperhitungkan keuntungn dan kerugian yang diterima dala sebuah usaha pengembangan ternak potong seperti ternak domba, mungkin jumlah variabel pengeluarannya diperjelas, sehingga total dana yang keluar dan total dana yang masuk dapat dihitung lebih jelas.


DAFTAR PUSTAKA


Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Pertanian. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Blakely, J. & D. H. Bade, 1994. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Church, D. C & W. G. Pond. 1988. Basic Animal and Feeding. John Willey and Son. New York, Singapore.
Church, D. C. 1991. Digestive Physiologi and Nutrition of Ruminants. Oregon State University Press, Carvallis, Oregon.
Devendra, C. & G. B. Mcleroy. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. 1st Edition. Oxford University Press. Oxford.
Diharjo, P. S. 1995. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta.
Dimsoski, P., J. Tosh, J. C. Clay & K. M. Irvin. 1999. Influence of management system on litter size, lamb growth and carcass charateristics in sheep. J. Anim. Sci. 77 : 1037-1043.
Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Ensminger, M. L. 1993. Feed and Nutrition 2nd Edition. The Ensminger Publishing. Company, California.
Gattenby, R. M. 1991. Sheep Production in the Tropic and Sub-Tropic. Tropical Agriculture Series. London.
Gattenby, R. M. 1995. Sheep. University of Edinburg. England.
Hafez, E. S. E. 1993. Hormones Growth Factors and Reproduction. In: E. S. E. Hafes (Editor) Reproduction Animals. 6th Edition. Lea and Febriger, Philadelphia.
Harahap, A. S. 2008. Pengaruh umur terhadap performa reproduksi induk Domba Lokal yang digembalakan di UP3 Jonggol. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haryanto, B. 1992. Pakan Domba dan Kambing. Prosiding. 11 : 345-352.
Hatfield, J. 1978. Sheep. 2nd Edition. Printer and Publisher Inc. Denville Illinois.
Iniguez , L., M. Sanhez & S.P. Ginting. 1991. Productivity of Sumatran sheep in a system integrated with rubber plantation. Small Ruminant Research. 5: 303- 307.
Inounu, I. & K. Diwyanto.1996. Pengembangan ternak domba di Indonesia. J. Anim. Sci. XV (3):61-68.
Inounu, I. & T. D. Soejana. 1998. Produktivitas ternak domba prolifik: analisis ekonomi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(4): 215-224.30
Jaenudeen, M. R. & E. S. E. Hafes. 1980. Gestation, Prenatal Physiology and Parturation In: E. S. E. Hafes, ed Reproduction in farm. Lea and Febiger. Philadelphia.
Mattjik, A. A. & I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan dan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor-Press, Bogor.
Maynard, L. A. A & J. K. Loosly. 1979. Animal Nutrition. 4 th. McGrow-Hill Book Company, Inc. New york.
National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. National Academy Press, Washington.
Parakkasi,A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Pond, W. G., D. C. Church & K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. Jhon Wiley and Sons Press, New York.
Saputra, Y. 2006. Penampilan produksi anak domba selama periode prasapih di UP3 Jonggol. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Siregar, S. B. 1996. Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan kambing dan Domba Lokal didaerah Yogyakarta. Jurnal Ilmu dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Subandriyo & Djajanegara. 1996. Potensi produktivitas ternak domba di Indonesia. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 8:23-31.
Sudono, A. 1983. Produksi Sapi Perah, Departemen Ilmu Produksi Ternak,. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi, Departemen Ilmu Makanan Ternak,. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutiyono, Risko, E. T. Setiatin, B. Puboyo, L. M. S. Lestari & R. Adiwinarti. 1999. Pengaruh flushing terhadap kecepatan dan lama berahi pada domba yang diserentakkan berahinya menggunakan progesteron. J. Med. Pet. 7 (2):1-7.
Thalib, A., P. Sitepu & R. H. Matondang. 2001. Pengaruh flushing terhadap performans sapi dara turunan brahman. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2: 197-202.
Thalib, A. D., H. Hartadi, D. Suherman & Mulyani. 2001. Pengaruh kombinasi defaunator dan probiotik terhadap ekosistem rumen dan performan ternak domba. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6 (2):83-88.
Tiesnamurti, B. 2002. Kajian genetik terhadap induk Domba Priangan peridi ditinjau dari aspek kuantitatif dan molekuler. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut


LAMPIRAN


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar